Senin, 04 Oktober 2010

home scholing

ini sedikit kenang-kenangan tugas kuliah saya di jurusan PLS UM pada semester 3. silahkan diambil untuk referensia anda. semoga bermanfaat


FENOMENA PENDIDIKAN MASYARAKAT: HOME SCHOOLING PELAKSANAAN DAN PROBLEMATIKANYA
Oleh: Angga Widi Ratyanus

A.      Latar Belakang
Setiap orang tua menghendaki anak-anaknya mendapat pendidikan bermutu, nilai-nilai iman dan moral yang tertanam baik, dan suasana belajar anak yang menyenangkan. Hal-hal tersebut sering tidak ditemukan para orangtua di sekolah umum. Sering kali sekolah formal berorientasi pada nilai rapor (kepentingan sekolah), bukannya mengedepankan keterampilan hidup dan bersosial (nilai-nilai iman dan moral). Di sekolah, banyak murid mengejar nilai rapor dengan mencontek atau membeli ijazah palsu. Selain itu, perhatian secara personal pada anak kurang diperhatikan. Keadaan demikian menambah suasana sekolah menjadi tidak menyenangkan.
     Ketidakpuasan tersebut semakin memicu orangtua memilih mendidik anak-anaknya di rumah. Dalam perkembangannya, berdirilah lembaga yang disebut sekolah-rumah (home schooling) atau dikenal juga dengan istilah sekolah mandiri, atau home education atau home based learning. Home schooling menjadi tempat harapan orang tua untuk meningkatkan mutu pendidikan anak-anak, mengembangkan nilai-nilai iman/ agama dan moral serta mendapatkan suasana belajar yang menyenangkan.

B.       Pengertian Home Schooling
                 Home schooling atau biasa disebut sekolah rumah merupakan pendidikan berbasis rumah yang memungkinkan anak berkembang sesuai dengan potensi diri mereka masing-masing. Lewat model pendidikan ini, anak-anak tidak perlu datang ke sekolah karena mereka bisa belajar sendiri di rumah dengan peran aktif orang tua.
     Sistem ini sendiri terlebih dahulu berkembang di Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya di dunia. Baru kemudian mulai menjadi tren di Indonesia tahun-tahun belakangan ini. Sebenarnya jika kita kembali ke belakang, sistem pembelajaran Home Schooling telah ada, bahkan sejak sebelum jaman penjajahan dulu, beberapa tokoh penting kita seperti Ki Hajar Dewantara, Buya Hamka dan KH Agus Salim telah lebih dulu mengenyam sistem pengajaran home schooling ini.

C.      Metode Home Schooling
     Metode home schooling terdiri dari tiga jenis. Pertama, home schooling tunggal, kemudian home schooling majemuk yang terdiri dari dua keluarga, dan yang terakhir home schooling komunitas.
Home schooling tunggal di lakukan oleh satu keluarga. Home schooling tunggal ini dilakukan di rumah. Dalam hal ini orang tua bisa bertindak sebagai guru, jika pun ada guru yang didatangkan secara privat hanya akan membimbing dan  mengarahkan minat anak dalam mata pelajaran yang disukainya. Ruang kelasnya bisa kamar tidur, dapur, halaman rumah dan lain-lain. Waktu belajarnya pun bisa kapan saja, tergantung kemauan anak untuk belajar. Jadi belajar bukan sebagai kewajiban tapi kebutuhan bagi anak. Dalam home schooling, orang tua terjun langsung dalam proses belajar. Namun, jika mereka kekurangan informasi mengenai akademis, atau tidak mempunyai cukup waktu untuk memberi pelajaran intensif bagi anak, mereka bisa memanggil tutor dari lembaga-lembaga yang khusus menyelenggarakan program home schooling. Sebagai contoh, lembaga Asah Pena asuhan kak Seto. Lembaga ini mempunyai tim yang namanya Badan Tutorial yang terdiri dari lulusan berbagai jenis profesi pendidikan. Biasanya mereka melaksanakan pertemuan dua kali dalam satu minggu bagi peserta Home Schooling yang terdiri dari beberapa paket yaitu paket A setara dengan Sekolah Dasar (SD), paket B setara Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan paket C setara Sekolah Menengah Atas (SMA).
Home schooling majemuk dilaksanakan oleh dua atau lebih keluarga untuk kegiatan tertentu sementara kegiatan pokok tetap dilaksanakan oleh orangtua masing-masing. Alasannya, terdapat kebutuhan-kebutuhan yang dapat dikompromikan oleh beberapa keluarga untuk melakukan kegiatan bersama. Contohnya, kegiatan olahraga (misalnya keluarga atlet tennis), keahlian musik/seni, kegiatan sosial dan kegiatan agama.
Sementara home schooling komunitas adalah home schooling yang dibentuk dengan metode pembelajaran secara tutorial. Dalam hal ini beberapa keluarga memberikan kepercayaan kepada badan tutorial untuk memberi materi pelajaran. Badan tutorial melakukan kunjungan ke tempat yang disediakan komunitas. Biasanya kegiatan belajar mengajar hanya dilakukan selama tiga jam, dua kali dalam seminggu. Selebihnya diarahkan untuk banyak belajar dirumah dan lingkungan lainnya yang diminati.
Dalam home schooling komunitas, anak kelas satu, dua, dan tiga belajar dalam satu ruangan. Disini anak diberi kebebasan dalam memilih pembelajaran tetapi tentu saja tidak terlepas dari kurikulum yang dipakai, yaitu kurikulum berbasis kompetensi 2004, atau kurikulum terbaru yaitu KTSP. Acuan ini tetap dipakai, karena pada akhirnya nanti anak akan mengikuti ujian kesetaraan, semacam ujian UN yang diselenggarakan oleh Diknas atau komunitas lainnya yang sudah dilegalkan untuk menyelenggarakan ujian tersebut.
Selain itu, anak  juga akan memperoleh Ijazah penyetaraan yang telah dilegalkan oleh pemerintah, dan dapat dipergunakan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi kelak. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 UU Sisdiknas ayat (1) yang mengatakan bahwa: Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Ayat (2) mengatakan bahwa: Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan. Bahkan ijasah dengan akreditasi internasional bisa diperoleh melalui lembaga-lembaga formal di Eropa dan Amerika melalui ujian jarak jauh.
Home schooling juga menggunakan prinsip Diknas yaitu multi entry dan multi exit atau mudah untuk masuk dan mudah untuk keluar. Jadi jika anak bosan atau sudah tidak merasa nyaman dengan pendidikan formal di kelas dua, maka anak dapat pindah ke kelas tiga di home schooling, dan proses ini juga telah dilegalkan oleh pemerintah.

D.      Kedudukan Home Schooling dalam PLS
PLS adalah suatu lembaga pendidikan yang di dalamnya terdapat program-program layanan pendidikan kepada masyarakat yang diselenggarakan diluar sistem persekolahan.  Program layanan PLS mencakup semua bentuk pendidikan (pembelajaran terencana) yang diberikan atau berlangsung di luar sistem persekolahan, apa pun tujuannya, siapapun penyelenggaranya, dan siapapun kelompok sasarannya.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa home schooling merupakan program pendidikan yang ada di bawah naungan PLS karena home schooling diselenggarakan di luar sistem persekolahan. Home schooling diselenggarakan dirumah. Tanggung jawab pendidikan anak sepenuhnya berada di tangan orang tua. Materi ajarpun dipilih dan ditentukan oleh orang tua, serta jadwal belajar yang fleksibel tergantung pada kesepakatan antara anak dan orang tua. Berbeda dengan sistim persekolahan yang cenderung terpusat dan tidak fleksibel. Di sekolah tanggung jawab pendidikan anak dilimpahkan kepada guru dan pengelola sekolah. Kurikulum dan jadwal belajar telah ditentukan dan seragam untuk seluruh siswa.

E.       Kelebihan Home Schooling
Sebagai sebuah pendidikan alternatif, home schooling mempunyai beberapa kelebihan. Kelebihan home schooling adalah:
a.         Lebih memberikan kemandirian dan kreativitas individual bukan pembelajaran secara klasikal.
b.         Memberikan peluang untuk mencapai kompetensi individual semaksimal mungkin sehingga tidak selalu harus terbatasi untuk membandingkan dengan kemampuan tertinggi, rata-rata atau bahkan terendah.
c.         Terlindungi dari kenakalan remaja, seperti pergaulan bebas, tawuran, narkoba, dan lain-lain.
d.        Lebih bergaul dengan orang dewasa sebagai panutan.
e.         Lebih disiapkan untuk kehidupan nyata.
f.          Membantu anak lebih berkembang, memahami dirinya dan perannya dalam dunia nyata disertai kebebasan berpendapat, menolak atau menyepakati nilai-nlai tertentu tanpa harus merasa takut untuk mendapat celaan dari teman.
g.         Membelajarkan anak-anak dengan berbagai situasi, kondisi dan lingkungan sosial.
h.         Masih memberikan peluang berinteraksi dengan teman sebaya di luar jam belajarnya.

F.       Problematika dan Solusi Pelaksanaan Home Schooling
  1. Problematika
Selain memiliki keunggulan atau kelebihan, saat ini masih banyak permasalahan yang dihadapi oleh home schooling, diantaranya adalah persoalan legalitas. Segudang pertanyaan muncul tentang bagaimana sikap dan pengakuan pemerintah tentang sekolah rumah ini.
Selain masalah legalitas, masih ada problematika yang dihadapi home schooling yaitu mitos masyarakat yang keliru menafsirkan home schooling, diantaranya adalah:
a.     Home schooler kurang bersosialisasi, tidak realistis terhadap dunia.
b.      Orang tua tidak bisa menjadi guru.
c.       Orang tua harus tahu segalanya.
d.      Orang tua harus meluangkan waktu 8 jam sehari untuk homeschool seperti di sekolah.
e.       Waktu home schooling tidak cukup untuk belajar karena tidak meluangkan waktu sebanyak waktu belajar di sekolah.  
f.       Home schooler tidak disiplin dan seenaknya sendiri karena terbiasa bebas.
g.      Home schooler tidak bisa mendapatkan ijasah.
h.      Home chooler tidak bisa masuk universitas ternama.
i.        Home schooler tidak mampu berkompetisi.
j.        Home schooler tidak bisa menikmati inovasi dan kemajuan dunia pendidikan.
k.      Biaya home schooling mahal.
l.      Homes chooling hanya bisa dilakukan oleh masyarakat dari kalangan tertentu saja.

2.      Solusi
Untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana sikap dan pengakuan pemerintah tentang sekolah rumah ini, telah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam pasal 27 ayat (1) dikatakan: ”Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.” Lalu pada ayat (2) dikatakan bahwa: ”Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah perserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan”. Jadi secara hukum kegitan persekolahan di rumah di lindungi oleh undang-undang.
Direktur Pendidikan Kesetaraan Depdiknas menegaskan, UU SisDikNas mengakui sekolah rumah sebagai bagian dari akses pendidikan. Depdiknas mendefinisikan sekolah rumah sebagai proses layanan pendidikan yang secara sadar, teratur, dan terarah dilakukan oleh orangtua/keluarga di rumah atau tempat lain dimana proses belajar dapat berlangsung kondusif. Meskipun model persekolahan di rumah ini dijalankan secara informal orang tua yang menyelenggarakan homeschooling ini diwajibkan melaporkan kepada dinas pendidikan kabupaten atau kota setempat. Anak didik yang mengikuti homeschooling ini juga dapat mengikuti ujian kesetaraan paket A (setara dengan SD), paket B (setara dengan SMP) dan paket C (setara dengan SMU).
Sementara ini sayangnya pemerintah hanya mendukung sebatas legalitas formal melalui UU SisDikNas yang menggolongkannya sebagai bagian dari pendidikan informal (keluarga). Perlu adanya dukungan yang lebih luas dan mendalam agar tujuan pendidikan yang mulia dan ideal yaitu membentuk anak-anak didik menjadi insan yang bertaqwa, mempunyai akhlak yang mulia segera bisa diwujudkan di negeri kita yang tercinta ini.
Sedangkan untuk menjawab pertanyaan sekaligus memberikan solusi atau penjelasan agar masyarakat tidak keliru menafsirkan home schooling akan dijabarkan di bawah ini, diantaranya adalah:
a.         Home schooler kurang bersosialisasi, tidak realistis terhadap dunia.
Bersosialisasi berarti berinteraksi dengan individu-individu lain dan tidak harus dengan mereka yang sebaya saja. Home schooler berinteraksi dengan siapa saja, baik teman sebaya, mereka yang lebih tua maupun yang jauh lebih muda sekalipun. Mereka diajar untuk bisa menempatkan diri di lingkungan manapun dengan siapapun dan menjalin hubungan/interaksi bukan karena diharuskan atau dipaksakan tetapi karena kesadaran bahwa hubungan antar manusia itu memiliki makna.
b.        Orang tua tidak bisa menjadi guru.
Orang tua dianggap tidak bisa menjadi guru, itu karena selama ini kita berpandangan keliru mengenai guru. Bahwa guru itu tahu segalanya dan tidak pernah salah, berdiri di depan murid (anak) dan berceloteh. Murid dianggap pasif sebagai penerima informasi. Dalam homes chool, tugas orangtua yang terutama adalah menanamkan sikap mental learning. Guru adalah siapa saja yang memberikan ilmunya. Sewaktu anak bertanya-tanya bagaimana adonan semen untuk bangunan dibuat dan dia mendapatkan jawabannya dari seorang tukang bangunan, maka tukang tersebut adalah guru. Ketika dia berinteraksi dengan masyarakat dan dia memperoleh suatu pengetahuan baru, maka pengetahuan itu adalah guru. Dengan kemajuan teknologi seperti sekarang, banyak sekali ahli yang bisa ditemui di internet, dari ahli pembuat permen sampai astrobiology bisa kita jangkau dalam hitungan detik. Mereka semua adalah guru yang sangat ahli di bidang masing-masing, yang bisa diajak bertukar pikiran dan berdebat sekalipun.
c.         Orang tua harus tahu segalanya.
Orangtua tidak harus tahu segalanya untuk bisa melakukan home schooling. Mereka cukup belajar dari keberhasilan para orang tua yang sejak beberapa dekade lalu telah melakukan home schooling, bahkan pasangan petanipun bisa menghasilkan anak-anak yang diterima di universitas-universitas papan atas di fakultas kedokteran, hukum, dll. Apakah para orangtua ini duduk sepanjang hari di depan anak-anaknya dan mengajari mereka? Jawabanya tidak! Mereka bekerja di ladang, memerah susu dan mengurusi ternak yang lain. Bagaimana itu bisa terjadi? Mereka tidak tahu segalanya tetapi mereka tahu bagaimana menanamkan nilai dan sikap mental kepada anak-anaknya. Itulah yang membuatnya berhasil.
d.        Orang tua harus meluangkan waktu 8 jam sehari untuk home school seperti di sekolah.
Orang tua harus meluangkan waktu 8 jam sehari untuk home school seperti di sekolah adalah anggapan yang sangat keliru, pertama karena home schooler dibiasakan untuk mandiri sehingga dominasi orangtua dalam pembelajaran sangat tidak diharapkan. Kedua, kalaupun pada saat tertentu atau pada tahapan usia tertentu keterlibatan orangtua sangat didiperlukan, waktunya tidak selama di sekolah. Kenapa? Kebanyakan sekolah tidak efisien, topik yang seharusnya bisa dikuasai dalam beberapa menit harus dipelajari selama berjam jam, karena terlalu banyak gangguan, misalnya guru marah, murid ribut, dan gangguan-gangguan lain.
e.         Waktu home schooling tidak cukup untuk belajar karena tidak meluangkan waktu sebanyak waku belajar di sekolah.
Home schooler bisa saja meluangkan waktu hanya beberapa menit misalnya untuk mengerjakan beberapa lembar kerja mata pelajaran biologi, tetapi ia bisa terlibat asyik dalam penelitian spesies kupu-kupu selama berbulan bulan. Jumlah waktu tidak menjadi tolok ukur pembelajaran apalagi kalau jumlah waktu itu ditetapkan sebagai bentuk pemaksaan.
f.          Home schooler tidak disiplin dan seenaknya sendiri karena terbiasa bebas.
Semangat dari home schooling adalah melibatkan anak dalam proses pembelajaran dan menghormati pilihan mereka dengan catatan mereka tahu bahwa ada suatu tanggung jawab besar terhadap setiap keputusan yang di ambil. Mereka juga diharapkan menyadari bahwa ada persyaratan tertentu yang harus mereka penuhi untuk mencapai suatu tujuan. Tentu saja home schooler bebas untuk menentukan apa yang dia ingin pelajari, seberapa dalam dan kapan dan bagaimana dia ingin belajar tetapi itu semua bukan berarti home schooler bebas dalam arti negatif .
g.         Home schooler tidak bisa mendapatkan ijazah.
Di negara dengan populasi home schooler terbesar, Amerika Serikat, mitos ini tentunya sangat mendekati kenyataan di era 70an. Sekarang ijasah bukan menjadi masalah lagi karena banyaknya inovasi di bidang pendidikan. Di Indonesia, karena belum ada peraturan khusus yang mengatur tentang keberadaan home schooler, sebagai warga negara home schooler berhak memperoleh ujian persamaan yang diadakan oleh depdiknas secara berkala untuk mendapatakan ijazah.
h.        Home schooler tidak bisa masuk universitas ternama.
Seseorang bisa masuk sebuah universitas sangatlah tergantung pada kemampuan masing masing. Banyak lulusan pendidikan formal yang tidak bisa masuk universitas yang mereka inginkan karena mereka tidak memiliki kemampuan yang cukup. Begitu juga dengan lulusan home schooling. Namun secara teknis, tidak ada kendala bagi home schooler untuk memasuki universitas. Belum ada data pasti di Indonesia mengenai jumlah home schooler yang pernah atau sedang belajar di universitas-univesitas dalam negeri tetapi di Amerika Serikat, sebagai contoh, home schooler bisa ditemui di setiap universitas.
i.           Home schooler tidak mampu berkompetisi.
Dalam home schooling, kompetisi terberat yang dihadapi seseorang adalah kompetisi melawan diri sendiri. Kompetisi tidak dipandang sebagai usaha menjatuhkan siapa saja tetapi lebih kepada usaha melihat kekuatan dan kelemahan diri sendiri dan orang lain sehingga dengan bekal penerimaan ini anak sadar akan pentingnya sinergi dengan orang lain. Kompetisi bertaraf internasional sebagai ajang menilai kemampuan juga bebas diikuti oleh homeschooler, sebagai contoh kecil, National Geographic Bee, Spelling Bee beberapa tahun berturut turut dimenangkan oleh home schooler yaitu anak-anak yang tidak pernah menginjakkan kakinya di sekolah.
j.          Home schooler tidak bisa menikmati inovasi dan kemajuan dunia pendidikan.
Hampir tidak ada inovasi di dunia pendidikan yang tidak bisa dinikmati oleh home schooler. Apabila di sebagian sekolah elit setiap inovasi pendidikan harus melalui tahapan yang sangat panjang untuk bisa dinikmati siswa, misalnya pembentukan wacana dulu, rapat, planning, dan kadang tidak terlaksana karena terbentur berbagai masalah, home schooler dapat melakukan langsung tanpa birokrasi yang berbelit belit. sebagai contoh, home schooler bisa membantu para ilmuwan NASA untuk mempelajari batuan di mars atau berinteraksi langsung dengan para astronot. Home schooler dapat menikmati digital library yang berisi beribu ribu literature dari karya aristoteles sampai mahabarata. Home schooler yang tidak memiliki alat alat laboratorium di rumah bisa menggunakan virtual lab dengan alat dan berbagai macam bahan kimia.
k.        Biaya home schooling mahal.
Pada prakteknya home school akan menjadi mahal kalau orangtua malas dan tidak kreatif. Oleh sebab itu orang tua seyogyanya juga ikut berperan secara aktif untuk menunjang keberhasilan sang anak. Ada beberapa tip yang bisa dipertimbangkan para orangtua dalam menyelenggarakan home schooling untuk anak-anaknya. Menurut psikolog dari RSUD Cilacap, Reni Kusumowardhani hal-hal yang bisa dipertimbangkan antara lain:
l.           Cari referensi sebanyak mungkin tentang strategi, metode, dan sumber-sumber media/bahan ajar untuk penerapan homeschooling.
2.         Lihat kebutuhan anak. Hal ini dapat dilakukan melalui konsultasi dengan psikolog untuk mengukur berbagai aspek perkembangan yang sudah dicapai anak serta arah minatnya. Di samping itu juga banyak berkomunikasi dengan anak, sehingga orangtua memiliki peta mengenai anaknya.
3.         Bergabung dalam asosiasi orangtua penyelenggara homeschooling (di Jakarta sudah ada).
4.         Aktif mencari sumber pembelajaran dan mencari guru yang sesuai dengan kebutuhan jika orang tua tidak menguasai materi sepenuhnya.
5.         Berkomunikasi dengan anak sebanyak mungkin.
6.         Mendaftarkan anak untuk mengikuti ujian penyetaraan sesuai levelnya. Jika belum mengetahui prosedur dan persyaratanya, bisa bertanya pada Dinas Pendidikan setempat.
7.         Tetaplah pada keyakinan bahwa sesibuk apapun orangtua memiliki kewajiban untuk pendidikan anaknya.
l.           Home schooling hanya bisa dilakukan oleh masyarakat dari kalangan tertentu saja.
Berjuta juta keluarga yang melakukan home schooling di seluruh dunia memiliki karakteristik demografi yang beragam. Ada yang tinggal di perkotaan, di dalam hutan atau di kutub sekalipun. Ada yang dari keluarga menengah ke atas atau dari keluarga yang secara finansial masih prihatin. Ada keluarga homeschooling yang hanya memiliki satu anak, ada juga yang meng-homeschol 19 orang anak anak mereka sekaligus. Ada yang ibunya tinggal di rumah atau memiliki karir. Ada yang orantuanya memiliki gelar profesor tetapi ada juga yang cuma lulusan SMA, dan lain lain. Keluarga keluarga yang melakukan home schooling sangat beragam sehingga anggapan bahwa home schooler adalah masyarakat elite baru sangat tidak benar.
Agar home schooling dapat dilaksanakan dengan baik dan anak dapat merasa nyaman dalam belajar, maka ada beberapa prasyarat keberhasilan dalam menyelenggarakan homeschooling, yaitu:
a.                   Kemauan dan tekad yang bulat.
b.                  belajar-pembelajaran yang dipegang teguh.
c.                   Disiplin.
d.                  Ketersediaan waktu yang cukup.
e.                   Keluwesan dalam pendekatan pembelajaran.
f.                   Kemampuan orang tua mengelola kegiatan.
g.                  Ketersediaan sumber belajar.
h.                  Dipenuhinya standar yang ditentukan.
i.                    Ditegakkannya ketentuan hukum.
j.           Diselenggarakannya program sosialisasi agar anak-anak tidak terasing dari lingkungan masyarakat dan teman sebaya.
k.         Dijalinnya kerjasama dengan lembaga pendidikan formal dan nonformal setempat sesuai dengan prinsip keterbukaan dan multimakna.
l.           Terjalin komunikasi yang baik antar penyelenggara homeschooling.
m.       Tersedianya perangkat penilaian belajar yang inovatif (misalnya dalam bentuk portofolio dan lain-lain)



DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Tanpa tahun: Homeschooling: Sekolah Rumah atau Rumah Sekolah, (online), (http://www.genr-islamic-school.or.id/artikel/homeschooling2.htm, diakses 13 September 2008).

Anonim. 2006: Mitos Keliru Tentang Homeschool, (online), (http://homeschoolspirit.blogspot.com/2006/08/mitos-keliru-tentang-homeschool.html, diakses 13 September 2008).

Anonim. 2008: Kelebihan dan Kekurangan Home Schooling, (online), (http://abudira.wordpress.com/page/2/, diakses 13 September 2008).

Daryono. 2008: Pengertian Home Schooling, (online), (http://sma74jkt.sch.id/berita/artikel_detail.php?recordID=170, diakses 13 September 2008).
Faisal, Sanapiah. 2007. Pendidikan Luar Sekolah Menjawab. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Trinanda, Andi. Tanpa tahun: Pendidikan Home Schooling... ? Sudah Adaptifkah dengan Pendidikan di Indonesia, (online), (http://www.garutkab.go.id/download_files/article/PENDIDIKAN_HOME_SCHOOLING.doc, diakses 13 September 2008).  


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

FENOMENA PENDIDIKAN MASYARAKAT: HOME SCHOOLING PELAKSANAAN DAN PROBLEMATIKANYA

Makalah
Disusun untuk Memenihi Tugas Mata Kuliah Antropologi Pendidikan  yang Dibimbing oleh Drs. Lasi Purwito, M.S










Disusun oleh:
ANGGA WIDI RATYANUS
(107141406931)
Off B




JURUSAN PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
Oktober 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar